TAHU TIDAK, TERNYATA RESESI DUNIA BISA SEMENGERIKAN INI LOH
Situasi sepanjang 2022 semuanya serba tak pasti, berbagai perkembangan menebar kekhawatiran. Bertemunya krisis energi, pangan, dan keuangan berujung pada resesi global.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan memandang resesi global telah terjadi sejak awal tahun ini, karena saat itu, ekonomi global mengalami penurunan pertumbuhan yang diikuti dengan peningkatan inflasi atau stagflasi.
Stagflasi adalah kondisi dimana pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan bahkan turun, dibarengi dengan inflasi yang tinggi. Peningkatan risiko stagflasi membuat resesi ekonomi akan sulit dihindari. Risiko stagflasi cukup besar dengan konsekuensi yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi negara berpenghasilan rendah dan menengah.
“Stagflasi akan sangat berbahaya karena dari sisi permintaan akan menggerus daya beli masyarakat, sementara dari sisi penawaran tenaga kerja akan berisiko pada pemutusan hubungan kerja (PHK),” jelas Abdul kepada CNBC Indonesia, dikutip Minggu (10/7/2022).
Ketika inflasi meningkat, berarti biaya input produksi bagi perusahaan akan meningkat. Pada satu sisi, produsen tidak bisa langsung menaikan harga barang pokoknya, karena daya beli sedang rendah.
Abdul juga menjelaskan gejolak ekonomi global saat ini akan memengaruhi melemahnya nilai tukar rupiah atau depresiasi. Ketika depresiasi terjadi, semua agenda ekonomi akan terpengaruh.
“Pengaruh terhadap orang2 kaya atau pengusaha itu terlihat dari lonjakan produksi biaya perusahaan mereka,” jelas Abdul. “Bagi kita rakyat jelata ini kenanya lewat harga barang2 pokok yang kita beli, kan sebagian besar bahan makanan kita diimpor, misalnya kedelai.”
Menurut Abdul krisis ekonomi yang akan terjadi, dampaknya akan lebih para dari krisis 1998 dan 2008.
“Kalau krisis 1998 hanya terjadi di kawasan Asia. Sementara di luar Asia itu dia ekonominya rebound karena waktu itu ada kenaikan harga komoditas. Sama juga dengan 2008, yang terkena paling signifikan itu AS, tapi yang terkena kan hanya sektor keuangan, sementara sektor riil bisa bergerak,” jelas Abdul.
Nah, yang terjadi sekarang, situasi itu terbalik, di saat pandemi melanda semua sektor ekonomi mengalami penurunan. Ditambah lagi adanya gejolak geopolitik Rusia-Ukraina, yang diikuti melonjaknya harga komoditas dan inflasi.
“Akumulasi itu lah yang menyimpulkan situasi sekarang yang tidak baik-baik saja. Akan lebih buruk dibandingkan krisis ’98 dan 2008,” ujarnya.
Oleh karena itu, Abdul menyarankan agar otoritas terus meningkatkan ekonomi di dalam negeri. Harga-harga komoditas yang diatur pemerintah, agar ditahan dulu kenaikannya.
Implikasinya memang akan menggerogoti fiskal, tetapi jika harga-harga komoditas dibiarkan tertransmisi kepada konsumen atau masyarakat, Abdul mengatakan ekonomi Indonesia akan sulit tumbuhnya dan masyarakat akan semakin menderita.
Sebelumnya World Bank, dalam laporan terbarunya bertajuk Global Economic Prospects edisi Juni 2022, menggambarkan rumitnya kondisi saat ini. Mereka memperingatkan resesi ekonomi muncul bersamaan dengan stagflasi akibat pandemi Covid-19, ditambah perang Rusia-Ukraina.
Bank Dunia bahkan menyebut, situasi sekarang memiliki banyak kemiripan dengan dekade 1970-an dimana gangguan sisi pasokan yang terus-menerus didahului oleh kebijakan moneter yang akomodatif di negara-negara maju.