MENGAPA PEREMPUAN KERAP KALI MENJADI KORBAN KDRT?

Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia masih cukup tinggi. Terlebih pada perempuan.

Sebenarnya, Indonesia sudah mempunyai patung hukum akan hal ini, tercatat dalam Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT) Nomor 23 tahun 2004.

Namun, pembahasan mengenai KDRT masih dianggap tabu oleh masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika kasus-kasus KDRT masih saja menjamur di masyarakat setiap tahunnya.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat, sepanjang tahun 2021 terjadi sekitar 18.000 kasus, dan 79,5% atau sekitar 16.604 korbannya merupakan perempuan.

Faktor utama yang menyebabkan perempuan lebih rentan menjadi korban KDRT di Indonesia adalah masyarakat Indonesia yang masih saja memegang budaya patriarki.

Hal ini diungkapkan oleh Psikolog Anak, Remaja dan Keluarga Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Republik Indonesia Novita Tandry.

“Kita kan patriarki, anak laki-laki selalu diajarkan tidak mengekspresikan kesedihan, ini kemudian membentuk karakter laki-laki harus kuat. Lalu anak juga kan menyerap perilaku orang tua, anak laki-laki yang punyai ayah pelaku KDRT, bukan tidak mungkin dia juga akan berperilaku demikian,” jelasnya

Laki-laki pada sudut pandang patriarki ini kemudian dikultuskan sebagai penentu kehidupan keluarga, kemudian menciptakan identitas gender perempuan adalah pihak yang tidak punyai kesempatan mengatur, tetapi diatur. Hal ini lalu menciptakan terbangunnya relasi gender di masyarakat yang didasari dengan alasan berikut:

Laki-laki lebih kuat secara fisik, dan layak untuk bertarung

Fisik laki-laki dinilai lebih kuat dibandingkan pria, maka ini juga memungkinkan laki-laki memiliki agresivitas yang tinggi dan memiliki dasar biologis untuk itu.

Selain itu, masyarakat dengan secara kultural memporsikan laki-laki sebagai pihak yang layak untuk memanfaat kekuatan fisiknya dengan berkelahi, menggunakan senjata, serta mendominasi, dari sejak masa kecil.

Tradisi mengatakan, wajar jika laki-laki mendominasi perempuan.

Di masyarakat Indonesia ada proses yang panjang yang menyebabkan timbulnya pemikiran bahwa laki-laki sangat bisa menggunakan kekuatannya untuk mendominasi perempuan. Dan sebaliknya, perempuan tidak bisa melakukannya. Tradisi ini diperlihatkan melalui berbagai hal, seperti film, pornografi, dan media.

Di Indonesia juga masih banyak sekali yang menganggap perempuan hanya bisa bergerak di bidang domestik saja. Ini membuat banyaknya perempuan yang kemudian menggantungkan dirinya dan keluarga secara ekonomi, pada keluarga.

Realitas ini kemudian menciptakan paksaan kepada perempuan untuk berlapang dada menerima perlakuan apapun dari orang yang dijadikan tempat untuknya bergantung, yaitu suami.

Faktor psikologis kemudian menentukan korban dan pelaku. Atas dasar alasan nomor satu hingga tiga dan berbaur dengan faktor psikologis individual, akan menciptakan persepsi bahwa sebagian laki-laki melakukan kekerasan pada perempuan, dan perempuan menjadi korban. Sementara laki-laki lain tidak melakukan kekerasan dan sebagian perempuan tidak menjadi sasaran kekerasan.

Perspektif yang timbul tidak seperti, sebagian laki-laki melakukan kekerasan pada perempuan, dan perempuan menjadi korban. Sementara sebagian perempuan melakukan kekerasan, dan sebagian laki-laki tidak menjadi korban kekerasan.

Ada juga anggapan laki-laki dan perempuan dianggap punyai perbedaan kekuasaan dan kekuatan. Akhirnya, tersimpulkan persepsi bahwa perbedaan kekuasaan dan kekuatan antara laki-laki dan perempuan ini diartikan sebagai hak dan kemampuan untuk mengendalikan satu sama lain.

Oleh karena itu, penting bagi para wanita untuk berani mengatakan ‘stop’ dan ‘tidak’ ketika pertama kali disakiti kekasihnya. Bukan hanya ucapan, tapi juga tindakan dengan cara berani meninggalkannya.