Apa Efek Perang Rusia-Ukraina Terhadap Ekonomi Indonesia?

 

Rusia menyerang Ukraina pada hari ini (24/2), memicu harga komoditas dunia seperti minyak, emas, dan nikel meroket. Namun, bursa saham wilayah Asia merosot tajam.

Seperti apa kronologi kedua negara tersebut sebelum berkonflik seperti sekarang? Berikut rangkumannya seperti dikutip dari AFP.

Pada tahun 1991, Ukraina memberikan suara untuk memerdekakan diri dari Uni Soviet dalam sebuah referendum. Presiden Rusia Boris Yeltsin pada tahun itu, menyetujui hal tersebut dan selanjutnya Rusia, Ukraina dan Belarusia membentuk Commonwealth of Independent States (CIS)

Namun, selama 5 tahun berikutnya, Ukraina mencari cara untuk melarikan diri dari perwalian Rusia dan sudah berlangsung selama tiga abad.

Ukraina menganggap bahwa CIS adalah upaya Rusia untuk mengendalikan negara-negara di bawah Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet. Ukraina dinilai semakin dekat dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS) dengan menjalin hubungan dengan aliansi militer North Atlantic Treaty Organization (NATO).

Setelah berakhirnya perang dingin, Ukraina, Rusia, Inggris, dan AS pada Desember 1994 setuju untuk menghormati kemerdekaan dan kedaulatan perbatasan Ukraina. Kesepakatan itu sebagai imbalan untuk Ukraina karena telah menghapus senjata nuklir yang diwarisinya dari Uni Soviet.

Pada Mei 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani perjanjian persahabatan. Hal tersebut adalah upaya untuk menyelesaikan ketidaksepakatan dengan mengizinkan Rusia untuk mempertahankan kepemilikan mayoritas kapal di armada Laut Hitam yang berbasis di Krimea Ukraina dan mengharuskan Rusia membayar Ukraina biaya sewa karena menggunakan Pelabuhan Sevastopol.

Rusia menjadi mitra komersial terpenting Ukraina karena bergantung penuh pada minyak dan gas Rusia.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyoroti dampak konflik geopolitik Rusia-Ukraina terhadap kelangsungan bisnis dan perekonomian Indonesia. Sebagaimana diketahui, Rusia mulai melancarkan aksi serangan militer ke beberapa titik di wilayah Ukraina.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani menyampaikan, baik Rusia dan Ukraina bisa disebut sebagai rekan dagang dan investasi yang nontradisional bagi pelaku usaha Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mencoba untuk membuat sejumlah perjanjian dagang dengan Rusia sebagai bagian dari diversifikasi pasar walau upaya ini belum selesai.

Meski tidak dirinci, Shinta menyebut, kegiatan ekspor-impor dan investasi yang melibatkan Rusia-Ukraina dengan Indonesia masih tergolong mini, bahkan tertinggal jauh bila dibandingkan perdagangan Indonesia dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara.

“Jadi dampak konflik ini secara langsung terhadap relasi perdagangan dan investasi di Indonesia tidak signfikan,” imbuh dia, Kamis (24/2).

Di sisi perdagangan, Indonesia berpotensi mengalami gangguan suplai terutama untuk minyak dan gas (migas), karena adanya embargo global kepada Rusia yang bisa mempengaruhi stabilitas suplai dan harga minyak global.

Di luar itu, Shinta menilai, tidak ada perubahan yang berarti lantaran kontribusi Rusia-Ukraina terhadap ekonomi nasional sangat kecil. Sebagai contoh, perdagangan Indonesia dengan Rusia lebih didominasi oleh produk migas, besi/baja, dan alutsista yang sebenarnya dapat disubtitusi oleh negara lain karena volume perdagangannya tidak dominan, di mana nilai import share-nya hanya sekitar 1%.

Sementara dari sisi ekspor ke Rusia-Ukraina, produk yang cukup dominan diekspor oleh Indonesia adalah Crude Palm Oil (CPO). Walau begitu, jumlah CPO yang diekspor ke Rusia-Ukraina juga tergolong sedikit bila dibandingkan ekspor CPO ke negara-negara lain. Alhasil, mudah bagi Indonesia untuk melakukan diversifikasi atau pengalihan ekspor CPO ke negara lain agar kinerja ekspornya tidak terganggu oleh konflik di Eropa Timur tersebut.

“Hanya saja konflik ini akan mengganggu rencana Indonesia untuk melakukan kerja sama ekonomi lebih lanjut dengan Rusia dan Ukraina, karena kondisi konflik yang tidak kondusif,” ungkap dia.

Kadin menilai, hal yang perlu diantisipasi adalah channel transaksi perdagangan dan transaksi finansial lain antara Indonesia dengan Rusia. Sebab, Rusia sudah dikenakan sanksi embargo oleh sejumlah negara Barat. Memang, sejauh ini embargo yang berlaku masih terhadap produk-produk perdagangan dari dan menuju Rusia atau belum ada pemblokiran sistem finansial secara keseluruhan, seperti yang terjadi dengan Iran.

Namun, hal ini menjadi potensi embargo yang perlu dipertimbangkan karena bisa terjadi apabila konflik tidak dapat diselesaikan, sementara negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa terus bersikeras melakukan embargo kepada Rusia.

Kondisi ini akan menyulitkan transaksi perdagangan, investasi, dan transaksi finansial lain antara Indonesia-Rusia, sehingga kegiatan ekonomi Indonesia akan stagnan dan menurun sepanjang embargo terhadap Rusia diberlakukan.

Sementara untuk kontrak-kontrak suplai dan afiliasi usaha, Kadin menilai akan tetap berjalan seperti biasa. Ini mengingat secara esensi, transaksi atau afiliasi perdagangan dan investasi Indonesia tidak berhubungan langsung dengan konflik geopolitik Rusia-Ukraina.

“Hanya saja ke depannya kelangsungan usaha akan tergantung pada langkah pemerintah Indonesia untuk merespons konflik Rusia-Ukraina,” ujar Shinta.

Jika pemerintah Indonesia memilih untuk mengecam atau bahkan ikut melakukan embargo ekonomi kepada Rusia, ini akan sangat mengganggu kerja sama Indonesia dengan Rusia. Adapun kerja sama ekonomi dengan Ukraina diperkirakan akan tertahan atau berhenti sementara, mengingat serangan Rusia ditujukan ke kota-kota besar Ukraina. Alhasil, disrupsi terhadap kegiatan ekonomi di Ukraina akan sangat terasa.

Kadin pun berharap pemerintah Indonesia merespons konflik Rusia-Ukraina dengan kepala dingin dan perhitungan yang matang. “Memang kita tidak memiliki hubungan ekonomia yang erat dengan kedua negara tersebut. Namun, bukan berarti kita bisa bertindak sesuka hati menanggapi konflik Rusia-Ukraina,” ungkap Shinta.